Jumlah Pengunjung

Gunung Kerinci, basah yang luka.

“Kenapa naik gunung?”

Nah, loh?

“Hati galau, ke gununglah.”

Naik gunung itu gak ada nyaman-nyaman sama sekali. Keril di punggung yang berat, trek bikin nangis, belum lagi kalau sedang hujan—air terjun di trek, genangan, lumpur—semua itu lebih memberatkan dan membuat baju basah. Capek. Capek. Capek. *setelah itu pingsan.

Tidak seperti rutinitas harian; bangun pagi, mandi, berangkat ke kantor, pulang kerja, istirahat, nonton TV, tidur malam untuk kembali mengulang aktivitas. Bisa dipastikan 99,9% berjalan sesuai dengan apa yang dipikirkan. Di gunung, kita dituntut untuk berjaga-jaga. Membawa keperluan yang pas—tidak berlebihan karena bakal keberatan beban, namun jangan sampai tidak safety—peralatan standard wajib dibawa. Meski begitu, ketidakpastian tetap akrab menghampiri. Matahari yang tidak tembus ke hutan membuat jalanan lembab saat siang apalagi malam, terjal, berliku, cuaca buruk, gelap dan masalah lain yang tidak bisa kita hindari. Mau tidak mau, suka tidak suka, ikhlas tidak ikhlas, harus dirasa dan dihadapi.

Apalah arti keselumit sakitnya hati jika dibanding dengan sejumlah persoalan yang ada. Mungkin, beberapa orang menganggap gunung adalah tempat yang pas menyembuhkan. Bahwa menghadapi persoalan adalah proses menjadi dewasa.

Mas Denz bilang, “Di sinilah kita diuji untuk jadi tangguh dan kuat.”

Bagiku, ke gunung membuat badan remuk, tenaga habis, waktu hilang, uang … juga. Tapi ada hal yang tidak ternilai yang didapat. Sesuatu yang baru. Ya, mental baru. Ya, fisik lebih langsing. Ya, teman baru. Ya, kegiatan baru. Ya, foto-foto cantik. Ya, ingatan indah.

Masih di sini. Basah. Dingin. Di tengah hutan. Kami menghangatkan diri dengan kebersamaan.



Jum’at 18 Desember 2015.
FORUMHIJAU.COM – “Dari pantauan kami melalui pesawat Seismograf Radio Telematry System (RTS), sepanjang November, terjadi 4.131 kali gempa hembusan, dua kali gempa Vulkanik dalam, 62 kali terjadi gempa vulkanik dangkal, 18 kali gempa Tektonik jauh, serta satu kali gempa tektonik dangkal,” kata Indra, petugas pemantau gunung kerinci.

Dari data yang diperoleh, baik melalui pengamatan visual maupun seismic (Kegempaan), terjadi peningkatan aktivitas dibandingkan dengan Oktober lalu.

“Saat ini gunung kerinci berstatus waspada level dua,” tambahnya.

Sedangkan data hingga 15 Desember 2015, gempa hembusan yang terjadi di gunung kerinci, mencapai 1.803 kali. Dimana setiap harinya terjadi lebih dari 100 kali gempa hembusan. Dengan kondisi tersebut, dia menghimbau kepada para pendaki, untuk tidak mendekati kawah.

“Kami merekomendasikan pendakian hanya boleh dilakukan hingga radius tiga kilometer dari puncak,” himbau Indra.

Informasi yang didapat Tribun, jumlah pendaki saat pergantian tahun baru nanti akan membludak. Selain dibanjiri pendaki lokal, jalur pendakian gunung kerinci juga akan dipenuhi pendaki dari luar daerah.





Artikel mengenai kondisi gunung Kerinci menjadi perhatianku akhir-akhir ini. Bagaimana pun, aku berharap agar kiranya bisa melakukan ekspedisi ke sana dengan selamat.

Handphone yang kuletakkan di atas meja kerja bergetar, pesan dari aplikasi BBM masuk.

Denz
Kerinci, keberangkatan 30 Desember 2015 – 02 Januari 2016 tersisa quota dua orang lagi.

Ira
Kalau quota tidak terpenuhi, apa perjalanan batal, Mas?

Denz
Tetap berangkat.

Berbekal pengalaman sebelumnya; pendakian Mahameru, aku mulai melakukan ritual. Lari-lari di lapangan sepulang kerja.

Sehari … dua hari latihan, sempet lirik-lirik pelari lain. Ehem. Pas pelari itu lewat, shhheeeettt …. Harum! Lalu mencoba untuk merasakan aroma tubuh sendiri dan … besoknya gak mau lari lagi karena minder. *Gak gitu sih.

Seperti yang kuposting sebelumnya, aku tergoda dengan Inline Skate. Melihat anak-anak sekitaran kost yang meluncur riang gembira, telah mengenalkan dan membuatku bisa menggunakan sepatu roda ini. Lebih asyik meluncur, lupalah aku dengan lari di lapangan. Lupa jugalah dengan pelari-pelari kece, semerbak wangi memesona. Pokoknya, pulang kerja buru-buru ke kost dan tidak berapa lama pasti sudah ada panggilan.

“Tanteeeeee …. Yuk, main sepatu roda.” Master-master cilik sudah ada di depan pintu kost. Suara mereka serentak seperti ada Dirigen yang memandu.

“Tunggu sebentar ya, tante ganti baju dulu.” Dengan gerakan cepat, aku mengganti pakaian, memakai pelindung lutut dan siku. Traumah rasanya pas jatuh, lutut atau siku berdarah. Atau paling ringan, membiru. Perih!

Alhasil, aku kecapean. Memang ya, sesuatu yang berlebihan itu gak baik. Pun olahraga. Badan pegel-pegel, drop. Pas check kesehatan, tensi pun menurun. 90/70 Mm/Hg. Sementara jadwal naik gunung tinggal dua hari lagi.

“Tanteeeeee …. Yuk, main sepatu roda.” Master-master cilik masih belum bosan bermain bersamaku. Kagum, gimana bisa mereka gak capek? Salut.

“Tante gak main dulu ya. Badan tante sakit semua.” Gak tega rasanya. Jawabanku melenyapkan senyum di wajah mereka.

“Ya, udah.” Master Hany bersuara dengan nada datar dan rendah.

Mereka pasti kecewa.

Beberapa menit kemudian, jalanan kost tetap sepi. Anak-anak tidak bermain hari ini. “Maafkan tante, ya.”

Persiapan fisik, failed. Dengan kondisi badan yang sedemikian, aku mempersiapkan perlengkapan naik gunung. Jika keril ke gunung sebelumnya hanya berukuran 45L, kali ini aku membawa 75L. Sebenarnya ragu sih, keril sebesar itu bahkan dalam kondisi kosong aja udah berasa berat. Aku kan jadi bertanya-tanya, saat punya keril besar, kenapa perlengkapan jadi gak muat di keril yang lebih kecil. Hello! Pas ke Semeru kemarin, kenapa bisa?

Aku gak ngerti. Kenapa … ini bisa terjadi. *Hapus air mata, sok sedih. Lebay.

Permasalahan timbul ketika aku gak memiliki cover bag. Ada yang tau, toko yang menjual penutup keril di Batam?

Bukan masalah besar sih, tapi tetep aja. Aku kan gak mau keril merahku yang kayak cabe “hot” berubah jadi lada hitam karena debu. Gak mauuuuu!!! *Membayangkannya aja udah horror banget. I am scared, Baby.

Aaahhaahh! Ambil handphone, lalu …

Ira
Mas, boleh belikan cover buat keril ukuran 75L?

Denz
Ok.

… masalah selesai. ^_^






Rabu, 30 Desember 2015, pukul 19:00 - Bandara Minangkabau, Padang.

Ira
Aku tunggu di samping restoran Lumintu. Lantai satu bandara.

Pesan BBM-ku belum dibalas. Kemungkinan Penyelenggara ekspedisi beserta rombongan sudah di pesawat.

Sambil menunggu, aku memesan makanan pengganjal perut yang sejak tadi terasa lapar. Sebenarnya, pengen banget ngerasain nasi Kapau yang katanya terkenal di Sumatera Barat ini. Tapi gak ketemu. Keterangan dari temen bilang, bahwa nasi tersebut kebanyakan dijual di Bukit Tinggi.

Satu jam berlalu. Mangkok bakso di hadapan sudah habis, teh manis panas kini tinggal setengah dan telah berubah dingin, handphone dan kamera sudah full charged.

“Ira ya?” Pria yang kupastikan bernama Mas Denz muncul di hadapanku.

“Iya.” Segera kumasukkan kamera, handphone dan kabelnya ke tas. Aku bangkit dan mengikutinya.

Di depan pintu kedatangan, ada pria-pria dengan jaket dan ransel gunung khas pendaki. Layaknya warga Indonesia yang ramah, kami berjabat tangan untuk saling mengenalkan diri.

“….”

“Ira.”

“….”

“Ira.”

“….”

“Ira.”

Dan seterusnya.

Sampai orang terakhir, mohon untuk tidak mengujiku dengan menanyakan nama-nama orang yang barusan bersalaman denganku. Aku lupa. *Haha. Hal paling sulit adalah mengingat nama-nama orang yang baru dikenal.

Tanpa membuang waktu, kami ke parkiran. Travel yang mengantar ke desa Kersik Tuo -Jambi sudah menunggu.

*Buat tim, I will miss you, All.




Terus terang, saat trip ke kerinci berakhirlah aku baru hapal nama-nama anggota tim. Selama pendakian, aku hanya memanggil mereka yang pria dengan sebutan “Mas” dan “Mbak” pada wanita. Masih terbawa sih, sampai sekarang. Mereka juga begitu. *Aku sih, gak mau ngaku kalau umur aku dah banyak. Biar aja jadi misteri. Kesannya kan aku terlihat muda … atau gak sadar diri. Hiks squint emoticon.

Para pria yang kutemui di bandara itu, ada Mas Roni; berbadan atletis. Denger-denger secara tidak pasti, doi olahragawan angkat beban 65Kg (Maaf kalo salah ya, Mas. Entah kapan aku denger ini. Sungguh, gak harus dipercaya).

Ke-dua, Mas Anang yang So Kind. Gimana gak baik, doi mau lho meminjamkan pundaknya buat kuinjak. Padahal ke-dua bahunya itu lagi ditempel koyok yang nandain kalo doi pasti pegel. Iyalah, siapa coba yang badannya terlihat segar bugar setelah turun gunung 3805 mdpl itu. Gak ada kan, kecuali porter. Maafkan aku, Mas Anang. Demi foto di atas Tugu Macan, aku lupa diri lalu kurang ajar manjat Mas. Tapi alhamdulillah ya, jadi punya foto cool, bergaya disantap harimau loreng besar.

Ke-tiga, Adik Ben yang Very Nice. Selain lucu, ramah dan rame, pria bertubuh kurus ini sangat baik dan hebat.

“Mbak, mau tukaran keril? Kayaknya keril Mbak berat banget.” Kalo gak salah, setelah pos 1/ Bangku Panjang, doi menawarkan diri. Mungkin karena ngelihat mukaku yang merah padam, minta dikasihani.

Pertama kali, aku ragu. Antara kasihan dengan Ben kalo harus bawa tas gunungku yang sudah pasti tidak ringan, atau aku yang gak bakal sanggup menanggung beban ini.

“Ini berat loh.” Aku harap, Ben mempertimbangkan usulannya.

“Kalo gak mau berat, jangan naik gunung. Main aja ke Mall.” Ben tampak yakin.

Akhirnya, dengan gak enak hati kami tukaran keril.

Aku gak habis pikir, kok keril Ben ringan ya? Jadi pengen ngebongkar isinya. Apa aja yang dibawa untuk bisa survive di gunung yang sarat akan bahaya ini. Tapi demi menjaga privasi dan kesopanan, aku urungkan keingin-tahuan itu. Dibantu buat tukaran aja, syukur. Ya kan?

Terima kasih, Ben. Rasanya gak mungkin bisa tanpa bantuanmu. Terima kasih banyak ya, Ben.

Ke-empat, Mas Arie; Si Genius. Dari tampilan kaca mata yang digunakannya, membuat doi tampak cerdas.

Di awal pendakian, saat melewati pintu rimba dengan trek basah, di hati dah ngerasa bahwa hujan bukan berarti telah usai, tapi kemungkinan besar akan turun lagi.

“Kalo hujan, gimana ya?” Pada hakikatnya, pertanyaanku ini tidak harus dijawab. Karena hanya timbul dari kekhawatiran semata. Jika pun ditanggapi, aku lebih mengharap respon untuk menguatkan jiwaku yang agak rapuh.

“Paling basah.” Si Genius, yang berada di belakangku dan belakangan kutau berprofesi sebagai dokter itu menjawab.

Aku menoleh ke arahnya. Mencoba tersenyum manis meski aku yakin yang terlihat asam. Semua makhluk juga tau, hujan pasti basah. *Gemez.

Namun mimik wajahnya gak berubah. Ia malah memastikan jawabannya ke pria lain yang lewat. “Mas, benerkan kalau hujan, palingan basah?”

Padahal kan, aku pengen denger jawaban, “Kalau hujan, trek lebih licin. Tapi tenang aja, kita pasti bisa kok. Semangat!” Kan adem dengernya. Pake hati dong.

Namanya juga Genius, tentulah mengartikan apa pun pake logika. Coba aja, kalau jawabnya pake perasaan, namanya Baper deh.

Ke-lima, Mas Agus; Si cool yang tak banyak bicara. Diam-diam, koleksi foto doi banyak dan bagus. *Kamera yang doi bawa kan professional, wajarlah jernih dan gak pecah.

Diam-diam, doi juga menyenangkan. Kita kan pasti tau, gak semua yang direncanain bakal terjadi. Menurut Itinerary, kami harusnya camp di Shelter 2. Tapi ternyata, moment pergantian tahun dan libur nasional tidak hanya membuat kami antusias naik gunung, pendaki-pendaki lain juga. Akhirnya, Shelter 2 dan Shelter 3 dipenuhi camp pendaki yang membludak. Jadilah, Mas Denz mengarahkan agar kami camp di Shelter 1.

Jarak waktu tempuh dari Shelter 1 ke Shelter 2 kurang lebih 4 jam. Shelter 2 ke Shelter 3 ada 1 jam dan dari Shelter 3 ke puncak sebanyak 4 jam. Jika ditotal, kami membutuhkan waktu 9 jam tanpa berhenti untuk sampai ke puncak.

Dalam kondisi fisikku seperti ini? Tidak mungkin!

Aku, orang yang tidak tahan dingin tapi naik gunung ini mendekat ke pembakaran sampah yang ada di Shelter 1. Mendengar dari kejauhan pembicaraan itu sambil menghangatkan diri. Rasanya pengen teriak “Aaakkkuuuu ggaakkk Bbaakkaalll sanggguuupp, Maaaaassss!!!”

Trek sepanjang itu yang bakal dihadapi nanti malam? Bangun jam 12 malam? Dinginnya kayak apa? Jalanan masih basah kan? Pembakaran sampah ini masih nyala, gak? Kalo aku pingsan, gimana? Kalo hypothermia? Aku gak kuat dingin, tapi setidaknya beri aku kesempatan untuk bisa bertahan. Setidaknya kita harus terus melangkah, agar saat ke puncak nanti malam, waktu yang dibutuhkan lebih singkat. Hari masih terlalu siang untuk mendirikan tenda di Shelter 1 ini. Setidaknya, kita bisa gunakan nikmat cahaya siang untuk terus berjalan. Setidaknya, dengarkan aku. squint emoticon.

Diantara asap-asap yang menghangatkan jari-jari tangan dan tubuhku, Mas Agus datang, “Kita nge-camp di Shelter 1, gimana?” Suaranya pelan dengan raut wajah khawatir, seperti tau apa yang kupikirkan.

Berbagai hal berkecamuk di kepala dan hati. Tapi ya, itu tadi. Ke gunung bukan hanya tentang puncak yang ingin dicapai. Pendewasaan. Bagaimana kita mengalah. Mendengar. Mematuhi. Berjuang. Menerima dan menghadapi.

Diam-diam, doi juga punya kantong ajaib. Lho kok?
Pas malamnya, masih di Shelter 1, aku bongkar-bongkar kerilku yang beratnya minta ampun. Buka perlahan ritsleting bagian kantong luar keril, gak ada. Buka pelan-pelan ritsleting bagian kantong bawah keril, tetap gak ada. Cepat-cepat buka ritsleting bagian dalam keril, bongkar semua ruangan, tempat baju, tempat peralatan make-up, tempat peralatan mandi, semua tempat … gak ada! Headlamp-ku tertinggal. Tidddaaakkkkkkk!

Lagi, doi datang meminjamkan. Mungkin doi punya kantong ajaib yang bisa ngambil apa aja yang diinginkan.

Gak kebayang deh, rasanya mendaki malam-malam tanpa senter. Aku bisa apa, dalam gelap? Gelap di trek yang panjang lagi nanjak tiada henti? Aku bisa apa? Aku bukan siapa-siapa. Aku kecil di antara besarnya hati-hati yang baik. Aku kecil di gunung. Aku hanya butiran debu.

Selama pendakian, doi juga selalu ada. Dengan sabar, nungguin jalanku yang agak lambat. Bahasanya “agak” biar kesannya gak lambat-lambat amat ya. Pokoknya penyabar banget deh.

Eh, doi pendaki atau malaikat penolong sih? *Haha. Thanks, Mas Agus. For all things kiki emoticon.

Alasan apalagi untuk gak ke gunung coba? Kita akan banyak menemukan malaikat-malaikat dunia. Mereka yang menolong tanpa pamrih. Yuk, ah. Ke gunung!

Btw, terakhir megang senter yang dipinjamin Mas Agus, cahayanya kedip-kedip lho. Tapi aku gak mau bilang kalau beberapa kali senter itu terbentur. Kena akar-akar, tanah keras, batu dan lain-lain di trek. Maaf ya, Mas. Aku gak ngaku, takut Mas marah. Moga senternya gak rusak. Moga itu karena kehabisan baterai. Maaf squint emoticon. Aku salah!

Ke-enam, Siapa lagi kalau bukan Pak Ketu; Mas Denz. Doi tipe penyelenggara yang Very Good.

“Saya bawakan cover bag. Pakai aja.”

Yyyeee! Awal pertemuan yang baik. Aku dipinjemin cover bag.

“Cover bagnya buat Ira,” ucap Mas Denz di hari terakhir trip.

Sayangnya, aku gak mau memanfaatkan orang baik. Jadi, aku balikin deh. “Enggak ah, Mas. Terima kasih ya,” sambil nangis gak rela. *Gak sih. Saat itu emang lagi sedih, kecewa, bete, kesel, karena gak ada angkutan umum yang lewat. Sepertinya, Kerinci belum mau kutinggal.

Cuaca saat mendaki sedang buruk. Hujan. Aku kehabisan baju panjang yang kering.

“Saya bawa manset.” Tuh kan, he is good people.

Gak enaklah. Masa, Mas Denz capek-capek bawa baju trus aku yang pake. “Gak ah, Mas.” Lidah akhirnya berhasil bicara, padahal hati, otak dan semua anggota tubuh mengutuknya.

“Rasain, dingin kan. Sok gak mau pake baju kering.” Hati menggerutu.


Merekalah orang yang kutemui di bandara Minangkabau-Padang.

Nging … nging … nging ….

Suara bus tua yang kami tumpangi memecah keheningan malam. Kami masih akan menjemput dua wanita di rumah makan yang tak begitu jauh dari bandara; Mbak Dewi dan Mbak Lisna.

Bersambung ...