Jumlah Pengunjung

Sang PENGAGUM -Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Sang PENGAGUM
Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Banyak orang mengatakan, gara-gara film “5 CM”, sekarang bermunculan para pendaki. Tontonan yang secara kuat memengaruhi, menginspirasi jiwa-jiwa muda untuk berpetualang ke pegunungan.

Mereka bilang, “Petualang manja banyak yang euforia naik gunung.”, “Mantan anak bioskop naik gunung.”

Banyak juga yang beranggapan jika film itu membuat gunung indah menjadi kaya …

Sekarang gunung telah menjadi destinasi favorit bukan saja oleh mereka yang mengaku penggiat alam, bahkan orang awam yang tak pernah mendaki pun, ikut-ikutan menjajal kegiatan alam bebas ini. Ingin terlihat eksis? Ikut tren? Memanjakan mata? Pamer foto di sosial media? Melihat ciptaan indah sang Maha? Menjauh sejenak dari rutinitas? Entahlah. Ada banyak alasan untuk itu.

… akan sampah. Banyak pendaki amatir yang membuat gunung kini dibanjiri sampah.

(Ini) Salah satu kisah dari banyaknya cerita, tentang orang yang mulai menjelajah hutan dan gunung karena film tersebut diceritakan dalam novel ini.
Selebihnya, kita akan lebih mencintai Indonesia. Bangga. Dan semoga lebih menghargai alam.




SINOPSIS :


Ambara bosan dengan rutinitas yang begitu-begitu saja. Ia berniat akan melakukan ekspedisi pendakian. Padahal ia tipe orang tak bisa tahan udara dingin.

Rahmat; rekan kerja Ambara, heran ketika perempuan itu bertanya tentang pendakiannya saat liburan lalu. Meski begitu, Mat memberi nasehat bahwa, sesekali perlu melakukan hal beda untuk tau kejutan apa yang semesta bakal berikan.

Semesta sedang memberikan kejutannya. Itu yang ada dalam pikiran Ambara, saat melihat seorang cowok sewaktu latihan. Ia sangat mengagumi cowok yang tak ia ketahui namanya itu. Ia menyebutnya, Penawan.

Aku duduk membeku, menatapnya tak berkedip. Ia lebih dari sekedar tampan. Lebih dari sekedar memesona. Lebih dari sekedar memiliki daya tarik. Penawan. Aku tertawan.

Cinta bisa datang kapan pun. Pertemuan singkat itu meninggalkan jejak di hatinya.

“Setiap sore ke sini?” Penawan mengalihkan pembicaraan.

“Tidak …”

Saat penasaran pun, tetap keren dan … dari segala sudut pandangan, aku tak menemukan cela. Benar-benar sempurna. Aku tau kalau ia sedang menungguku berbicara.

“… besok hari terakhir latihanku sebelum pendakian hari selasa.”

“Ke mana?”

“Apa kamu suka mendaki gunung?

“Aku merasa, ini seperti undangan,” gumamnya pelan sampai kupikir ia sedang berbicara pada dirinya sendiri.

Tapi senyumannya memikat. Kurasa ia sedang menggodaku. Aihhh! Entahlah. Mungkin hanya sekedar rasa yang kubangun sendiri.

“Aku mengundangmu. Apa kamu mau?”

Aku berharap jawabannya ya, meskipun tampaknya mustahil. Setidaknya, aku melihat ia lebih mengembangkan bibirnya yang juga sempurna. Entah apa artinya, aku tak tau. Aku sama sekali tak bisa membaca wajahnya. Yang ada ia malah semakin memesonaku. Yang kutau, aku sangat menyukainya. Lebih dari seharusnya.

Ia tersenyum dan aku hampir pingsan dibuatnya.

Namun, di hari keberangkatannya, Ambara harus bersedih karena Penawan tidak datang.

***



Gadis itu sering bertanya-tanya, cintakah? Atau rasa itu, obsesi semata? Karena ternyata, perasaan kagum pada cowok asing membuatnya berhalusinasi …

Aku beku. Bunyi sepatu beradu dengan pasir dan kerikil dari pendaki yang berjejalan menyamar. Memelan.

“Kamu kuat, bertahanlah.”

Suara yang kukenal itu … terdengar muram. Pemilik suara yang selalu membuat wajahku ke arahnya. Selalu memesonaku. Selalu membuat jantungku meledak-ledak bahkan hanya dengan membayangkannya. Ia terlalu menawan, memang.

Tapi aku terlalu lemah untuk bisa membuka mata apalagi bergerak. Kurasa, ia mengalungkan kain ke leherku. Menutup rapat jaket dan merapikan tudung di kepalaku.

Lalu hening.

… sampai tidak menyadari bahwa, ada hati lain yang sangat memedulikannya.

***



Andrian tergelak misterius. “Apa kamu benar-benar berpikir kalau aku tak sanggup mendaki?”

“Maksudmu?” Aku tak mengerti.

“Kamu benar-benar berpendapat begitu?” Ia jengkel menatapku.

Aku menangkap ekspresi tak terima dari wajahnya. “Aku hanya melihatmu menyerah … dan sangat disayangkan jika berhenti setelah apa yang kita lalui.”

“Kamu salah.” Suara dan sorot matanya melembut. “Seandainya …” ia menggeleng seperti mencoba melawan apa yang dipikirkannya. “… meninggalkanmu di jalur pendakian bisa kulakukan, jika saja. Aku pasti sudah mencapai puncak sebelum matahari terbit. Tapi …”

“Tapi?”Aku tak sabar ingin mendengar penjelasannya.

Ekspresinya kini berubah. Aku tak bisa menebaknya.

“… pada kenyataannya, hatiku terus saja ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja dan itu memerlukan kehadiranku di dekatmu. Jika aku bisa ke puncak, maka kamu harus ada bersamaku. Jika tidak, yang terpenting adalah keselamatanmu”

Kusingkirkan pikiran bahwa Andrian sengaja menyerah demi menjagaku agar tak terlalu memaksakan diri menggapai puncak.

“Jadi, kamu hanya berpura-pura?” Kupikir lebih jelas jika mendengarnya langsung dari pada menebak-nebak.

“Aku tau, kamu bukan tipe orang yang suka diperhatikan secara langsung. Untuk itu, selama pendakian aku selalu berada di belakangmu, agar bisa leluasa mengawasi.”

“Begitu detail memerhatikanku, terima kasih,” sindirku tajam.

Kuharap ia memahami reaksiku yang langsung memalingkan wajah darinya tanda tak suka.

“Kamu memang tak suka diperhatikan,” gumamnya puas seakan tau bahwa ia memahamiku. “Aku benar.”

Aku menghela napas. “Mengapa itu penting buatmu?”

Dahinya mengerut ketika menatapku. ”Bagi mereka yang percaya bahwa kebetulan tidak ada, maka jika ada yang tiba-tiba ada dan mengubah yang tiada, itu berarti Tuhan telah menggariskan. Tadinya aku berpikir bahwa kamu berbeda, itulah yang membuatku penasaran. Aku memerhatikanmu untuk lebih mengenal dekat, tapi ternyata aku salah. Kamu tak sekedar berbeda, tapi sesuatu yang spesial.”

Aku memejamkan mata dan menarik napas pelan lewat hidung. “Mengapa begitu?”

Ketika membuka mata, wajahnya sangat serius.

“Sulit memercayai betapa mengagumkannya dirimu … meski dalam keadaan kotor.”

Aku menatapnya terpana. Sulit bagiku berpikir tentang apa yang sudah kulakukan hingga membuatku spesial di matanya.

“Hanya saja … satu hal yang aku tak terima. Kamu terlalu mengandalkan diri sendiri dan tak memberiku kesempatan untuk bisa membantumu. Aku senantiasa khawatir, melihat batu-batu yang menggelinding ke arahmu namun tetap tak menghentikan langkahmu. Bahkan saat tubuhmu terhuyung-huyung di jalur puncak, kamu masih saja terus berjalan. Aku berpikir, apa kamu tak menyayangi nyawamu? Sampai akhirnya aku berpura-pura menyerah. Setidaknya, mungkin kamu lebih menyayangi orang lain dari pada dirimu sendiri. Tapi lagi-lagi aku salah. Kamu malah menganggapku lemah. Meski usahaku sia-sia, kuharap bisa menjelaskan seberapa penting untukku menjagamu. Kamu keras kepala, melakukan apa pun maumu meski membahayakan.”

“Keras kepala melakukan apa pun meski membahayakan. Apa itu yang membuatku spesial?”

“Betapa itu menyiksaku, andai kamu tau.”

“Mengapa kamu begitu peduli?” Aku bersikeras.

“Aku tak tau,” bisiknya.

Lalu ia berbalik dan menjauh.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon komentarnya ^_^.